February 26, 2012

You are not the one who'll stay & stare


“Mungkin memang harus begini jalannya, Re” Ujarnya. Nampak ada sebersit rasa penyesalan di matanya, hembusan nafas yang begitu keras membuatku mengira bahwa dia marah. Kalau saja ada pilihan antara berdiri di hadapannya dan mengerjakan seratus soal matematika, aku akan memilih makan wishkash saja.

Aku mengangguk pelan.

“Kamu tahu, Re, fairytale never happens.” Ia menjejalkan kedua tangannya kedalam saku. Tubuhnya yang jangkung dan tegap menghalangi sinar matahari sore. Hingga aku hanya mampu melihatnya dalam siluet. “Dulu aku kira, kita akan terus bersama. Kamu, aku, kuliah bareng. Pergi ke Europe bareng, melihara gajah bareng,” Ia menggelengkan kepalanya. “Tapi aku ingat  kalau gajah itu illegal untuk dipelihara, sejak itu aku merasa bahwa semua mimpi kita juga,” Lagi, ia menarik nafas dalam-dalam. “It all sounds illegal.”

“Aku nggak pernah maksa kamu untuk terus tinggal. Karena people come and go, and there’s only one who’ll stay.” Aku tersenyum getir. “I don’t think you’re the one.”

“Yep. Benar banget. Jadi, udah mulai sore nih, aku kayaknya harus mulai packing.” Ia mengeluarkan tangan kanannya dari saku, dan mengulurkannya padaku. Dengan ragu aku menjabatnya. “Wish you be the luckiest woman in next life”

“Kamu juga,” Aku menarik kedua ujung bibirku dan membentuk sesimpul senyum.
 “Dah Re,”
“Dah Gi,”

Aku masih bediri mematung di tempat yang sama seperti setengah jam yang lalu. Sambil memandangi siluet punggungnya yang menjauh, aku mengusap butiran air mata yang berbaris rapi menuruni pipi.
-
“Hidup memang begini , Re” Ucapmu setelah menegak habis kopimu. “Lo gak bisa seenaknya nentuin semua plan lo untuk tewujud”

“Dulu gue kira, cinta itu sesedehana ngungkapin kalo gambaran lo bagus, gue suka. Dan selanjutnya dia bakal bikinin gambar buat gue,” Aku menarik nafas “Tapi gue sepenuhnya salah. The more we grow older the more complicated life would be”

“And sometimes when people grow, they grow apart” Kamu tersenyum getir.

Untuk beberapa menit aku dan kamu diselimuti kesunyian. Satu dan yang lain terlalu sibuk oleh pikirannya sendiri.  Aku mulai berpikir, semakin kita tumbuh besar, semakin kita sadar kalau mau seerat apapun pesahabatan kita, sebesar apapun rasa sayang kita pada seseorang, pada akhirnya hidup harus ditempuh masing-masing. Manusia nggak bisa selamanya hidup saling bergantungan. Berunding untuk menentukan nasib. Melangkah bersama dalam setiap kehidupan yang baru. Sama seperti saat kamu  memutuskan untuk menutup buku yang lama. Dan mulai mengisi dengan yang baru. Sama seperti saat kamu mengajakku untuk mengukir tinta bersama. Menuliskan mimpi yang masih tertunda. Sama seperti saat kamu bilang kalau kamu belum bisa pindah. Dan memaksaku jujur untuk mengatakan hal yang sama.

“We are fake,” aku memandang kaget. “Tapi gue nyaman dengan semua kepalsuan ini. Kepalsuan yang kasat mata”

Untuk beberapa detik aku beusaha mencerna kalimatmu.

“Kita sama-sama tahu kalau kita masih belum recover, meski kita gak saling jujur dari pertama” Kamu menarik ujung kiri bibirmu membentuk segaris senyum sinis. “Lo tahu kalo gue cuma butuh sandaran, dan gue tahu kalo lo cuma butuh bumbu buat hidup lo”

“Dan kita sama-sama tahu walau kita saling sayang, kita nggak akan penah saling mengisi hati kita” Aku menatap lurus matamu. “Because you are not the one.”

“Yap, anggap aja kita impas. Lo ngebantu gue ngeringin luka gue, dan gue ngebantu lo ngisi kehampaan lo, hahahaha” Kamu mulai tertawa lepas. Belum pernah aku melihatmu tertawa selepas itu sejak pertama kita membuat janji.
“Isn’t life  merely a joke? Hahahaha”

Dan kita tidak berhenti tertawa. Hingga matahari berganti seberkas cahaya penuh bulan purnama, yang kemudian diselimuti awan hingga akhirnya rintik hujan turun perlahan. Melukiskan keadaan hati kita yang sesungguhnya. Menanti mereka yang kita cinta untuk segera tiba.
-
United Nation Conference on Life Environment, Bandung 21 November 2011.

Aku sedang sibuk mempersiapkan diri agar bisa tampil lancar sebagai penyaji. Oh Tuhan, jangan buat lidahku terkilir. Aku menatap bayanganku lurus-lurus di cermin, dan sedang hendak menarik nafas dalam-dalam untuk yang kesekian kalinya ketika Rini, dopping terbaikku muncul di bayangan cermin.

“Re, tiga menit lagi ya kalau lo mau ke toilet atau sekedar teriak-teriak kaya tarzan dulu gue kasih waktu dua menit.” Ucapnya tanpa titik dan koma.
“Nggak Re, thanks. Hari ini gue memutuskan untuk nggak lari terbirit-birit karena kebelet  pipis saat pidato. Hehe”
“Good. Anything I can help?”
“Setelah acara ini selesai, temenin gue makan nasi padang di deket balai kota please”
“Laksanakan,”
-
Tiga menit yang dijanjikan Rini tampak terlalu singkat. Aku baru menyadarinya saat aku memegang microphone untuk berbicara. Memulai pidatoku dengan sesantai mungkin. Hingga kini aku sudah duduk dengan damai di kursi penonton.

“And please welcome, World’s youngest Human environment ambassador, The Indonesian’s new generation of Adam Malik. Giri Anugrah!”

Aku merasa telah menelan sebongkah batu zaman megalitikum. Dia mulai menyapa penonton dengan sepuluh bahasa yang berbeda, semua tampak terhibur dengan dirinya yang memang sangat pandai dalam menghafal aksen, dialek, juga berdiplomasi. Lima menit berlalu. Aku masih belum berhenti tercengang. He really had moved on. Moved forward indeed.

Seluruh ruangan tercengang dan hanyut dalam gelegar riuh tepukan tangan yang tiada henti.

“The only thing I can say now is, nothing’s difficult when you start to make a step. I am, Giri Anugrah, thanks for your attention!” Ucapnya mengahiri pidatonya yang terlalu berbobot, sambil tersenyum bahagia, terlalu bahagia, dan melangkah menuruni panggung. Langkah yang terlalu cepat. Semua tentangnya kini menjadi terlalu. Terlalu melampaui kriteria batas baku, hingga mengiritasi kedamaianku.

Aku merasa kursi di sebelahku bergoyang. Seperti ada yang menduduki. Dan sepertinya kepalaku mati rasa sehingga tak bisa menggerakkannya sederajat pun.

“You didn’t tell me you are going to be this great.” Suara yang sudah sepuluh tahun tak kudengar, tetapi tetap secara rutin menjadi gema dalam kepalaku.
“I’m not planning to say this but, if only I knew you’d be like this now, I would’ve put more effort in becoming way greater than now.” Kalimat itu meluncur dengan mulus dari mulutku tanpa sempat kucegah. Dia mengulurkan tangannya, tangan yang sudah berubah menjadi lebih kokoh dan berurat lebih banyak. Dengan lengan kemeja yang selalu diimpikannya. Aku mengulurkan tanganku, lagi, dengan ragu sepeti sepuluh tahun yang lalu.

“Apa kabar?” Ucapku setelah berhasil mengendalikan diriku.

“Gobsmacked. Kamu?”

“Baik.”

“You look awesome. Kalau aja kamu dulu minta aku untuk nggak pergi, mungkin kita nggak akan pernah maju. Dan kamu, mungkin kamu bakal tetap jadi Rere yang cuma bisa ngatasin masalah dengan nulis sambil nangis di blog.”

“Old story. Tapi mungkin kamu juga bakal jadi Giri yang cuma bisa ngatasin masalah dengan ngasih harapan kosong ke ribuan cewe lain.”

“But I haven’t moved any inch yet,”

Aku menolehkan kepalaku. Matamu yang hitam dan dalam masih sama seperti siluet yang kuingat sepuluh tahun lalu.

“And I’m not planning to.” Sesimpul senyum terlukis di wajahmu.

Untuk beberapa detik aku masih berusaha meyakinkan diriku bahwa aku tidak sedang bermimpi.

Aku sedang menghidupi mimpiku.

No comments: