November 18, 2010

Hujan turun deras. Membasahi jalanan kota Bandung di sore hari itu. Miko hendak menjalankan rencananya ketika telpon di rumahnya berdering.

"Halo?"
terdengar suara serak dan parau di ujung sana, "Halo, Miko? ini mama sayang"
"Iya ma, ada apa?" ujar Miko geliah mendengar suara mamanya seperti sedang menangis
"Papa... Papa..."
"Papa kenapa? Bukannya sekarang Papa sudah tiba di bandara? Mama gak lupa ngejemput Papa kan?"
"Iya Ko, ini mama di bandara, tapi.. pesawat Papa gak ada.."
Belum selesai mamanya berbicara Miko langsung memotong dan melancarkan seribu pertanyaan
"Maksud mama penerbangannya ditunda? Atau Delay darisananya? Atau Papa mengganti jadwal pesawatnya?"
Miko tampak sangat khawatir. Ia menggigit ujung bibirnya sekeras mungkin dan menggenggam erat gagang telpon.
"Bukan... pesawat papa.. Kecelakaan..." bruk.
"Halo Ma? Apa kata Mama? Mama gak salah ngomong kan? MA? MAA? MAMA KENAPA?"
Telpon terputus.

Mko lemas, ia berusaha mencari pegangan agar ia tidak terjatuh. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Menyusul Ibunya. Ya. Ia harus ke Jakarta dan menyusul Ibunya.

Miko langsung memakai jaket, dan pergi meninggalkan Bandung dengan mobilnya.

***

Suara Mama Miko bergetar ketika ia hendak memberitahu anaknya tentang apa yang telah diberitahukan pihak penerbangan. Ia tampak bingung, gelisah, dan tak tahu harus berbuat apa. Ia tak tahu bagaimana menyampaikannya. Miko mempertanyakan banyak sekali hal, sebelum kepalanya mulai pusing....

"Bukan... pesawat papa.. Kecelakaan..." Ia oleng. Banyak orang mengerumuninya dan tiba-tiba dunia menjadi gelap.

***

Waktu menunjukkan pukul 17.10 ketika Miko tiba di Bandara. Ia tak sadar seberapa cepat ia mengendarai mobilnya tadi. YAng ada di pikirannya sekarang hanya Mama. Bagaimana kalo penyakit jantung mama kambuh dan....? Tidak. Ia tidak boleh memikirkan yang tidak-tidak. Ia harus menyingkirkan segala pikiran tentang kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

Hujan masih belum berhenti. Langkah kaki Miko semakin cepat ketika Ia menemukan kerumunan orang yang sedang berkumpul dengan salah seorang pria berjas rapih.

"Coba cari kartu Identitasnya, dan lihat nomor terakhir yang ia telpon. Kita bisa mencoba menghubungi kerabatnya dari sana"

Samar-samar Miko mendengar suara Pria itu, dan pada saat bersamaan Telpon genggamnya berdering.

"Halo"
"Dengan saudara Miko?"
"Ya. Dengan siapa saya bicara?"
"Saya dari pihak Bandara Soekarno-Hatta dan saya menemukan seorang wanita yang terjatuh pingsan. Apa ia Ibu anda?"
"Anda berada di mana?"
"Di depan Loket"

Miko memutuskan teleponnya dan langsung melangkah ke tempat yang berjarak 10 meter darinya.

"Ada apa dengan ibu saya?"
"Ia terjatuh pingsan, Sepertinya harus segera dibawa ke rumah sakit"

MAsih gemetar, Miko menekan tombol di Telpon Genggamnya dan menghubungi Rumah sakit utuk mengirim Ambulan ke
Bandara. Setelah menelpon, Ia teringat akan percakapan terakhirnya dengan ibunya di telpon tadi.

"Apa ada kecelakaan pesawat dengan tujuan Kongo-Jakarta?"
Pria di hadapannya tampak gugup. Keringat bercucuran di wajahnya.
"Iya. Apa...." Pria itu menyaring ulang kata-katanya. beberapa detik kemudian dengan sangat hati-hati ia berkata
"Apa... ada kerabat anda di dalam pesawat itu?"
"Ya." Miko diam sejenak "Ayah saya" Saat itu, badannya seakan remuk. Seakan-akan ia telah mengikuti kejuaraan tinju dan ia kalah telah dari lawannya. Tidak ia tidak boleh jatuh pingsan. Siapa yang akan membawa ibunya nanti? Tidak, ia harus kuat.

    Pria dihadapannya tampak sangat menyesal. Ia mengutarakan telah terjadi kesalahan sehingga Pesawatnya salah mendarat. Juga ada hubungannya dengan cuaca saat ini. Mereka tidak memperkirakan bahwa cuaca akan seburuk ini. Karena pada saat berangkat, langit masih tampak cerah-verah saja. Pria itu juga mengungkapkan bahwa pihaknya telah menemukan pesawat itu, dan sekarang sedang dikirim tim untuk mengevakuasi korban-korbannya. Kemungkinan selamatnya para korban memang sangan tipis, tapi sekecil apapun itu, kita masih bisa berdo'a pada tuhan. Tidak ada yang  tidak mungkin jika Tuhan telah berkehendak.

    Setelah menjelaskan panjang lebar, Pria itu mohon pamit karena ia masih ahrus mengurus banyak orang yang bertanya tentang kecelakaan itu.

    Miko masih belum berkata-kata sejak pamitnya Pria tadi. Terjadi guncangan hebat di badannya sehingga ia seakan tak sanggup untuk berdiri. Badannya merosot, ia terpaku pada kursi tempat ibunya pingsan. Ia memukul-mukul kursi tersebut. Tanpa sadar, air matanya telah bersatu dengan air hujan yang membasahi badannya tadi.

    Miko mungkin masih akan menangis di sana jika Ambulans tidak segera tiba. Dengan hati yang berkecamuk, ia memutuskan untuk berdiri, dan mengantak ibunya ke Rumah sakit. Semuanya tampak samar. Semuanya kacau. Semua rencana yang ia susun tadi, kini hilang. Yang ada hanya kepingan memmorinya bersama keluarnganya di masa lalu. Terus berputar, berkecamuk dalam pikirannya. Ia hancur.

***
    Ami tampak gelisa. Tidak biasanya Miko memutuskan telpon dan tidak menghubunginya lagi. Ami mencari ponselnya dan menekan tombol nomor Miko yang sudah ia hafal di luar kepala.

     Sibuk. Ami mencoba lagi beberapa menit kemudian. Sibuk. Ada pa dengan Miko? Tidak biasanya telponnya tidak dijawab oleh Miko. Ami mulai mengingat-ngingat apa yang telah ia katakan pada Miko hingga Miko tak menguhubunginya lagi. Keningnya berkerut. Ia mulai menggeram kesal hingga pipinya berubah menjadi merah. Selama ini, Miko tidak pernah sekanak-kanakan itu. Apa karena ia membahas Ardy tentang kepulangannya? Tapi apa yang ia takutkan? Bukankah.... Ah memikirkan Miko begitu membuatnya pusing. IA rasa kepalanya akan pecah sebentar lagi karena Miko.
  
      Ami menghempaskan tubuhnya ke kasur. Ia mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Ada apa dengan dirinya? Jelas-jelas ia menyukai Ardy lebih dari apapun di dunia ini. Tapi, mengapa perlahan ia mulai melupakannya? Mengapa seakan-akan saking lamanya Ardy tidak pulang, ia terlalu terbiasa dan ketika beberapa hari lagi Ardy akan pulang  ia tidak terlalu terkejut. Mengapa kehadiran Ardy seakan-akan sudah tidak penting dan mengapa beberapa hari saja tanpa Miko rasanya ia akan hancur? Apakah...? Ah tidak. Ia tidak mungkin menyukai Miko. Tidak. Tidak untuk saat ini. Tidak untuk penantiannya yang terlalu lamau untuk Ardy. Tidak. Ia tidak mungkin menyakiti Ardy. Lebih baik sekarang, ia mempersiapkan kejutan untuk kepulangan Ardy. Ya. Kejutan.

"Hmm sepertinya aku butuh bantuan Miko"

       Ami menutup mulutnya. Apa yang ia katakan tadi? Mengapa tiba-tiba saja Miko yang ada di benaknya? AH! Karena terlalu stress memikirkan Miko, Ia jadi menyangkutpautkan segala yang ia pikirkan dengan Miko. Huhhh, Sedang apa ya, Mumut?

to be continued.
  

No comments: