November 20, 2010

3 hari berlalu sejak menghilangnya Miko tanpa kabar. Ami terus menghubunginya tapi ponsel Miko terus-menerus tidak aktif. Ia sudah mencoba untuk mengunjungi rumah Miko, tapi tidak ada siapa-siapa. Tetangganya bilang Miko sudah tidak ada di rumahnya sejak Selasa sore.

Ponsel Ami berdering. Ia buru-buru mencarinya.

"Ah! pasti Miko!"
  Ami mengerutkan keningnya, "Papa?!".
"Halo pa?"
"Mi papa gak jadi pulang hari ini. Ada kecelakaan di bandara, jadi papa masih harus nanganin kerabat korban-korban yang minta penjelasan. Maaf ya"
Ami lemas, "Jadi papa kapan pulangnya?"
"Secepat mungkin. Kalau ini sudah beres papa akan segera pulang ke Bandung ya,"
"Tapi pa..."
Tut tuut. Telpon diputus. Ami kecewa. Apa lagi ini? Miko tidak bisa dihubungi, Papa tidak jadi pulang. Ah, lengkap sudah.

***

   Miko berdiri di sudut ruangan itu. Putih dan bau yang khas. Bau yang selalu dibencinya, orang-orang berjas putih terus berlalu lalang sejak pagi tadi. Pria dihadapannya tampak sangat menderita. dengan berbagai alat yang menempel di tubuhnya. Seakan-akan jika satu saja dari alat itu mati, kerja organ-organ di tubuhnya pun akan terganggu. Ia tidak pernah habis pikir. Pria yang selama ini ia kagumi. Yang selama ini paling jarang merasakan sakit. Kini terdampar tak berdaya di atas kasur
  
   Miko terus menggenggam buku-buku jemarinya. Sesekali menghentakkannya ke lutut. Badannya gemetar luar biasa. Sudah 3 hari sejak kecelakaan pesawat itu, Ayahnya koma di Rumah Sakit. Awalanya Miko masih sangat senang karena dari sekian banyak korban yang meningga, Ayahnya masih sanggup bertahan.

   Ayah Miko adalah seorang Komandan. Ia beberapa tahun terakhir ini memang bulak-balik ke Kongo. Setiap lebaran, dan hari-hari tertentu ia akan pulang ke Indonesia. Tapi kepulanannya hari ini, karena tugasnya sudah selesai. Miko masih ingat percakapannya di telpon bersama ayahnya semunggu yang lalu. Ayahnya dengan semangat bercerita bahwa ia bertemu dengan anak rekan kerjanya yang sebaya dengan Miko. Namanya.... Ar... Ah araman kah? Ya mungkin namanya Arman, Miko tak begitu peduli dengan siapa nama anak itu. ketika sedang asyik melamun, tiba-tiba dokter menghampirinya,

"Ayah anda memang luar biasa" Kata Dokter sambil meletakkan stetoskop di lehernya.
"Memangnya kenapa Dok?"
"Sudah 3 hari lebih ia maish bisa bertahan hidup. Sepertinya Ia menunggu sesuatu. Sepertinya ada hal yang masih ingin ia sampaikan. Padahal kalau menurut analisa kami, alam keadaannya sekarang kemungkinan untuk bertahan hingga 3 hari saja sangat sulit. Apa anda sudah coba untuk mengajaknya berbicara? Siapa tau usaha anda bisa membuatnya terbangun"
"Baiklah, akan saya coba dok," Ujar Miko yang kemudian pamit untuk mausk ke ruangan Ayahnya.

   Miko duduk di kursi samping tempat tidur. Ia terus menatapi Ayahnya lekat-lekat. Seakan-akan dengan memandangnya saja sudah mengfobati rasa rindunya selama ini.

"Bodoh" Kata pertama yang keluar dari mulut Miko.
"Bodoh. Kenapa Ayah harus pulang duluan dan tidak mengikui jadwal pesawat rekan Ayah yang lain? Mungkin kalau ayah bersabar sedikit Ayah tidak akan mengalami ini. Ayah rindu kami? Kamu juga merindukan Ayah. Lebih dari yang Ayah pernah pikir. Ayah tau? Aku merasa iri pada teman-temanku yang berfoto bersama keluarganya yang lengkap pada saat wisuda. Tapi aku selalu ingat perkataan Ayah kalau Ayah bekerja demi aku. Demi keluarga kita. Apalagi Ayah pergi untuk menyelamatkan nyawa orang. Dimataku, Ayah tidak akan pernah berhenti menjadi Pahlawan. Meski Ayah tidak pernah mengharapkan sesuatupun darri ku, bahkan untuk meneruskan pekerjaan Ayah sekarang, tapi Ayah tau? Tanpa Ayah sadar Ayah telah menurunkan semua bakat Kemimpinan Ayah padaku. Meski Ayah tidak selalu ada saat aku membutuhkan seseorang untuk dimintai saran, meski Ayah tidak selalu ada saat aku berhasil memenangkan tiap pertandingan Basket. Meski...." Tanpa sadar Air Mata Miko mebasahi pipinya.

"Ayah, tak pernah ada kata terlambat. Kehadiran Ayah adalah segalanya. Aku lebih memilih menjadi seseorang yang miskin harta dibanding kehilangan Ayah. Ku mohon, bertahanlah dan kita akan bermain Basket bersama juga berkemah seperti yang telah Ayah janjikan saat aku kecil. Ayah...." Miko menarik napasnya dalam-dalam "Aku akan selalu menyanyangi Ayah, tanpa ayah minta."

Tiba-tiba saja terdenga suara panjang dari Layar penampil detak jantung. Tidak. Ini tidak mungkin. Pasti alat ini lepas dari stop kontaknya. Miko segera membungkuk dan mencari kabel, Ah kabelnya masih terhubung. Oh mungkin dari alat yang lain. Tidak juga. Ah Miko tau, pasti suaranya dari TV! Miko mematikan TV, dan suaranya tetap ada. Ah mungkin dari ponselnya! Ponselnya kan mati sejak 3 hari yang lalu karena ia tidak membawa charger. Ah pasti suara keran di kamar mandi! Miko segera berlari. Tuh kan benar! kerannya lupa tidak ditutup. Miko segera menutupnya. Suaranya masih ada. Miko terduduk, lalu suara apa? Ah alat ini pasti ingin menjahiliku. Lihat saja ya!

Dokter dengan tiba-tiba masuk ke Kamar Ayahnya, dan langsung meminta Miko untuk keluar dari kamar.

"Dok sepertinya besi penyangga kasur sudah terlalu tua hinggan mengeluarkan suara seperti itu. Iya bukan Yah? Kita harus mengganti kasur Ayah dok!"

Ayah Miko tampak sangat bahagia. Bibirnya membentuk seulas senyum, meski matanya masih tertutup. Ada seberkas cahaya yang entah darimana menyinari wajahnya. Dan setetes air mata.

Miko duduk diluar dengan panik. Ia tak habis pikir, kenapa besi-besi itu bisa mengeluarkan suara sekencang itu. Seakan-akan, akal sehat Miko telah ditelan rasa ketakutan. Ia melemparkan segala kenyataan pada hal-hal yang jelas-jelas tak mungkin. DOkter keluar dari kamar Ayahnya. Ia merangkul pundak Miko. Pada saat yang bersamaan, Ibunya Miko, yang sedari tadi pagi pergi untuk membelikan Miko sarapan, juga mengurus segala barang-barang Ayahnya di Bandara, menhampiri Miko dengan wajah yang sangat pucat. Wanita paruh baya itu tetap cantik, dan selalu cantik. Tapi sejak kecelakaan Suaminya, tubuhnya seperti habis melakukan diet ketat, kantung matanya membengkak, kerutan di wajahnay semakin tampak jelas.

"Ada apa, Dok?" Tanya wanita itu, lembut.
"Tuhan berkehendak lain," jawab dokter itu, lalu ia menarik nafas dalam-dalam "Maafkan kami,"

Tubuh Miko kaku. Ibunya terus menerus menagis tanpa henti. Mereka mausk ke Kamar ayahnya. Ia tampak sangat tampan. seulas senyum menghiasi wajahnya. Secepat inikah? Miko maish tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya kini.
Ya, mungkin dokter benar, ini yang terbaik. Ya, mungkin Ayah lelah. Mungkin Ayah ingin bertemu dengannya dan Ibunya di tempat yang jauh lebih damai dari pada lapangan basket di rumahnya. Miko merangkul ibunya. Memeluknya erat seakan tak ingin kehilangan hal yang paling berharga untuk yang kedua kalinya. Miko berbisik dalam hatinya, "God, I promise i'll keep what You've given me, the only precious thing that left. I'd love her rightly."

"Sshhhh, udah Ma, Ayah ingin istirahat. Ayah lelah Ma, Ayah ingin bersiap untuk bertemu kita di tempat yang paling indah. Kita berdo'a untuk Ayah, Ma.." Miko mengusap wanita yang tingginya sepundaknya itu. Memeluknya, dan mengecupnya. Betapa ia baru menyadari, bahwa Ibunya sangat berharga.

***

No comments: