Banyak yang bilang, bahwa mereka yang kuat
seringkali menimbun banyak kesedihan dalam dirinya. Dulu, Mama pernah bilang,
mereka yang terlihat bahagia memiliki kemampuan untuk membangun tamengnya
sendiri, mengabaikan rasa perihnya dan memilih cara lain untuk menghadapi
kehidupan. Belakangan ini aku seringkali dipuji temanku sebagai orang yang
kuat. Meski kedengarannya sungguh keren, dan mungkin usahaku untuk membangun
citra berhasil, aku malah bertanya-tanya. Apakah benar aku telah pulih dari lukaku?
Apakah aku patut memuji diriku atas usahanya?
Dari dulu, hal yang paling ku takuti dari
persepsi orang terhadapku adalah dinilai angkuh dan kompetitif. Sebenarnya ngga
ada yang salah dengan menjadi kompetitif, tapi aku paling sedih kalau apa yang
aku usahakan dinilai hanya untuk bersaing dengan orang lain. Karena lawanku
yang sesungguhnya adalah diriku.
Selama menyusun skripsi dan menjalani magang di tiga tempat dalam periode yang
sama, aku bergelut dengan rasa withdrawal,
denial, depression, dan lain sebagainya yang emang sangat negatif. Setiap
aku ngerasa sedih, aku selalu inget Babeh, bahwa beliau akan sedih juga kalau
melihat aku yang masih diberikan umur oleh Allah bukannya mengoptimalkan segala
momen kehidupan. Setiap aku ngerasa putus asa, sebisa mungkin aku langsung
menghentikan diriku buat mikir yang ngga berguna dengan berdoa dan berdzikir. Setiap
aku dihadapin sama ujian yang datengnya dari manusia, aku berusaha untuk ngga
ambil pusing dan lebih memilih untuk memaafkan atau me-yaudahlah-kan kejadian
tersebut. Karena Babehku nggak membesarkanku untuk jadi pribadi pendendam, tapi
yang selalu meminta maaf terlebih dahulu. Mungkin hal ini juga yang kemudian
bikin aku jadi pribadi yang ngga ambil pusing segala hal. Tapi ternyata
pelatihan untuk jadi ikhlas ini belum selesai, menurut Allah, mungkin aku belum
pantas untuk naik tingkat. Sehingga yang aku tanyakan tiap aku terbangun pagi
hari adalah, ya Allah, mampukah aku untuk lebih ikhlas dan belajar tawakal hari
ini?
Namun hal yang paling aku sadari adalah, aku
jadi ngga bergantung sama orang. Aku ga bisa mengelak kalau aku jadi lebih extrovert, lebih suka menghabiskan waktu
bareng teman atau keluarga daripada sendirian. Tapi bukan dalam konteks
pencarian solusi. I feel like I can no
longer trust anyone but Allah. I feel like I do not find comfort by telling
my stories to people. For the first time, I feel like I can detach myself from
people I used to grow fond of. Lalu, luka mana yang berhasil kau tutup,
Anisa?
Luka atas sebuah perasaan yang sementara, atas
kehendakNya membolak-balikan hati makhluknya.
Luka yang menyesali segala keputusan yang
dibuat, luka untuk menerima bahwa beberapa orang ditakdirkan untuk hadir dan
mendewasakan, lalu pergi dengan yang lebih membutuhkannya.
Luka atas segala rasa sedih yang tak
berkesudahan, dan keengganan untuk memaafkan diri sendiri atas segala
kekurangannya.
Luka dari ketidakpercayaan bahwa hidup hanya
sementara, dan orang-orang terkasih akan pulang ke tempat yang lebih indah pada
akhirnya.
I refuse to wear my
wounds on my sleeves.
I will grow into
someone who can show people that He will not burden a soul beyond that it can
bear,
Someone who spread
kindness and cultivate self-worth, who give loves, hopes, she wishes she has.
No comments:
Post a Comment