November 04, 2015

Emotion.

Sudah lama ingin cerita tentang satu semester ini. Dari awal masuk di bulan Agustus sampe detik ini, semester lima sukses jadi semester paling emotional. Dimulai dari beberapa kegiatan organisasi yang overlap, segala usaha untuk hustle harder dan jiggle all, hingga akhirnya ambruk setiap satu malam tiap bulannya. Bahkan di siang hari.

Saya mulai dapet julukan baper. Karena dianggap selalu take everything personally. semester ini juga mulai nunjukkin dinamika perkuliahan yang nggak cuma seputar akademik atau kehidupan organisasi yang teratur dan memang memberikan insights. This time I challenge myself to get out from my comfort zone. And I find myself suffer in pain. Kalau dulu saya segan banget nunjukkin emosi saya, selama semester lima ini saya dengan sangat blunt nunjukkin setiap emosi saya. Dari mulai marah, sedih, sampe nangis sesenggukan di depan dua angkatan. Dibilang malu? Iya. Tapi di saat semua hal itu kejadian, saya gak mikir konsekuensinya, karena there are things that no matter how bad we want the world to notice, there is just no word can sufficiently address it, so I cried. tapi yang kemudian saya sesalkan adalah karena aftermathnya ngebuat saya dilabeli baper dan gak bisa work under pressure. Sometimes, we all just need to keep some words unsaid for the sake of our ignorance about how hard people have struggled.

Saya mulai dihadapkan pada kondisi yang nggak mengenakkan. Seperti harus mengkonfrontasi orang, atau sebaliknya. Hingga pada detik ini, saya tiba di fase dimana saya udah ngga punya tenaga lagi untuk ngedumel, marah, atau sekedar pundung. Saya ngerasa people who made me upset, dont deserve my emotion. Dengan banyaknya hal yang saya kerjain, (tujuh aktivitas hehehe) saya kadang ingin dimaklumi kalau suatu waktu saya lagi gak mood ngobrol, atau saya cuma baca buku aja di sela-sela waktu, atau saya gak bales line sampe malem. Kadang saya ingin dimaklumi kalau saya dihadapkan pada deadline, terus saya molor dari waktu yang ditetapkan. Kadang saya ingin dimaklumi kalau kerjaan saya gak maksimal. Hingga terlintas pikiran yang nggak lagi mengacu pada konsep kosmopolitan, tapi mulai ke komunitarian dimana saya mikir, saya juga punya hak untuk mundur dari hal yang saya gak diminta konsen atas kejadian tersebut.

But professionalism is far more grand than that.

Untuk saya, setelah berjuang nyeimbangin setumpuk kegiatan yang dipunya plus tugas kuliah dan ujiannya, saya mulai mikir kalau saya gak mau minta orang memaklumi saya. Because it hurt my dignity to be assessed incapable for the things I am assigned for. Karena untuk saya, mau sekesal apapun saya sama sesuatu, saya nggak boleh mencampuradukannya dengan subjektivitas saya. Mau sesibuk apa saya di kegiatan eksternal kampus, saya nggak boleh membiarkan akademik saya turun. Mau sepenting apa jabatan saya di organisasi yang baru saya ikuti, saya gak boleh menyepelekan organisasi saya yang lain.

Because I have committed to do so. 

Karena saya udah sampe titik dimana saya nggak peduli seberapa kompleks excuse yang mau dibuat seseorang. No matter how well elaborated your excuses are, when you did not comply with your words, nothing matters anymore. Saya ngerasa kalau kinerja seseorang nggak boleh mempengaruhi kinerja saya sebagai individu yang memang udah punya komitmen untuk melakukannya. Dan ketika mereka ga hold on to their owrds then it"s okay because it's your decision to do so, and I am in no interest in interfering with it. Simply because I nothing them.

Well, postingan ini akan berakhir sangat judgemental dan sarat akan self-defense, but please just let it be for I need to vomit my emotion. Because in the age where sincerity is taken for granted, nothing matters anymore.

No comments: