November 13, 2011

Punggung Tangan.



Hari ini momen yang paling kami----siswa kelas dua belas------ tunggu. Malam bertabur bahagia yang merupakan epilog dari perjalanan selama tiga tahun menuntut ilmu. Senandung lagu dilantunkan oleh alunan syahdu piano di sudut ruangan. Setiap kawan saling bercengkrama dalam busana terbaiknya.
Suasana terasa sangat sibuk hingga akhirnya sudut mataku menangkap sosokmu. Berjalan tegap dari pintu masuk. Mendadak pipiku terasa panas. Aku kesulitan bernafas. Udara seperti lenyap tenggelam ditelan hidrosfer. Tuhan, kemana perginya senyawa o dua?
-
Kamu tampak gagah dalam balutan kemeja jingga dan celana kain yang jatuh lurus tepat di mata kaki. Siraman sinar lampu temaram membuat mata cokelatmu menjadi satu-satunya hal yang menarik malam ini. Seperti  mendapat telepati, kamu melambai dan menyunggingkan seulas senyum. Aku terpaku sepersekian detik sampai akhirnya memekarkan bibirku sebagai balasannya.
Kamu tak pernah perlu bekerja keras untuk terlihat tampan. Setidaknya begitulah di mataku. Perlahan kerongkonganku tercekat. Mulutku saling mengatup rapat. Sampai akhirnya kamu berjarak lima jengkal dari diriku, aku benar-benar yakin bahwa bumi ini benar-benar kehilangan oksigen.
“Hai, Na!” Sapamu santai.
Sekeras mungkin aku berusaha untuk bersikap biasa hingga akhirnya aku berhasil mengeluarkan sepatah kata, “Hai,” Sadar kata tersebut terlalu singkat, cepat-cepat kutambahkan, “....Yo,”
Kamu memamerkan gigi rapi hasil dikawat selama empat tahun.
“Cantik deh kamu, Na. Aku sampai ngira kamu kembarannya Emma Roberts, kalau aku nggak ingat dia benar punya kembaran, hahahaha” Ucapmu diiringi tawa renyah.
“Kamu juga ganteng, Yo. Seperti biasa.” Buru-buru kugelengkan kepala, Aduh, mikir apa sih kamu Hana!
“Biasanya juga ngeledekkin kamu, Yo. Pasti lagi seneng ya?”
Aku bisa melihat jelas perubahan air mukamu. Kamu tersenyum; senyum yang baru. Sudah satu persepuluh abad kumengenalmu, baru kali ini aku melihat senyum yang benar-benar beda.
“Na, aku saranin kamu buka tempat praktek meramal. Serius deh, tau dari mana coba aku lagi seneng?”
Bodoh. Apa orang yang sedang kegirangan selalu besikap bodoh? Jelas-jelas kamu tak henti-hentinya tersenyum sedari tadi.
“Kebetulan tadi malam aku habis semedi lagi Yo. Jadi kemampuanku untuk membaca perasaan seseorang semakin expert.” Aku menghela nafas, “Jadi, mau cerita nggak nih?”
-
Aku dan Rio pertama kali bersalaman sepuluh tahun yang lalu. Dia menjadi tetanggaku. Sejak saat itu, kami seperti Patrick dan Spongebob, saling membutuhkan satu dan yang lain. Kami bercerita segala hal; setidaknya begitulah menurutku. Aku selalu merasa Rio adalah pasangan dari tulang rusukku yang diciptakan Tuhan. Meski aku tak sempat mengatakannya, ralat, tak pernah cukup bernyali untuk mengungkapkannya. Selama ini aku beranggapan, asalkan Rio masih mau terjaga hingga pagi buta untuk sekedar mendengarku bercerita, atau meredakan tangisanku, itu semua sudah cukup.
Sampai akhirnya aku mengenal sebuah perasaan asing.
Yang kata orang, dinamakan Cinta.
-
Kamu mengajakku ke tepi kolam. Ditemani dua cangkir punch. Seperti sedang menyusun rentetan cerita, kamu menatap lekat-lekat rembulan yang hanya sepotong. Seberkas cahayanya jatuh tepat di pelipismu. Di detik yang sama, otakku bekerja lalu berkata, mungkin ini saatnya. Aku masih memainkan gaun sutera merah jambu milikku hingga aku mendongak dan mendapati kamu tersenyum lagi.
Butiran keringat mulai bertetesan menuruni dahiku. Apa ini  saat yang tepat?
Segera kufokuskan diriku tepat ketika kamu selesai menegak punch-mu. Seakan sudah menemukan dari dermaga mana kamu harus berlayar, kamu menarik nafas dalam-dalam, dan mulai berkisah.
“Jadi gini, Na. Tau kan, sebulan yang lalu, aku sekeluarga pulang ke tempat kelahiranku, di Padang?”
Aku menganggukan kepala, memutuskan untuk jadi pendengar setia.
“Nah, setelah sekian lama, akhirnya aku bertemu Leena, temanku sejak aku masih dalam kandungan!”
Perasaan tak enak mulai mengalir seiring siklus darahku.
“Terus, kita cerita-cerita dari A sampai Z atau bahkan lebih. Sampai akhirnya dia ngasih aku lipatan kertas yang sudah kusut. Disini, kemampuan meramal kamu beneran aku uji nih, Na! Coba tebak isinya apa?”
Aku menelan ludah, berusaha menghilangkan segala pikiran negatif.
“Hmmm, janji konyol anak SD?”
Magnifique! Daebak! Awesome! Kamu bisa naik level sekarang! Hahaha, exactly, Na. Ternyata bukan aku aja yang masih  beharap aku dan Hana bisa bertemu lagi dan berjodoh. Dia juga gitu!”
Mendadak aku merasa adrenalinku meningkat. Antara tak mau meresap tebakan jituku tentang apa yang akan tejadi selanjutnya, atau terus berusaha berpikir positif. Aku mengalihkan pandanganku ke air kolam yang memantulkan sinar bulan.
“jadi singkatnya, kami resmi pacaran!”
Senyum di wajahmu semakin merekah. Lututku terasa lemas. Setiap guratan senyummu seakan menamparku dan membangunkan aku dari indahnya mimpi. Rentetan kejadian manis berkelebat satu demi satu di otakku. Sampai akhirnya nyawaku kembali berada di depanmu, dan mataku menangkap kamu yang sibuk membuat gerakkan tangan berusaha mebuyarkan lamunanku.
“Na, Naaaa! Aku disini!”
“Aduh sori, tadi tiba-tiba kepikiran, Piko udah aku kasih makan belum ya?” Jawabku ngawur. Aku berjanji, sepulang dari Prom Night ini aku akan meminta Piko----Kucing Persiaku---- menjadi seorang kakek yang setia menemani radio bututnya.
“Hah? Aku nggak nyangka, ternyata kamu sayang banget ya, sama Piko. Terus aku gimana dong?”
Seolah tak puas mematahkan sayapku, kali ini kamu menggali lubang untuk tempatku mendarat.
“Yeee kan udah ada Leena. Aku ke toilet bentar, ya.”
Buru-buru kubalikkan badanku.
Pipiku terasa basah.
-
Aku menatap lekat-lekat bayanganku di cermin. Berusaha merapikan eyelinerku yang sekarang tampak menyeramkan. Sambil berusaha mengatur nafasku, aku menata ulang pikiranku. Pikiran dan kondisi kejiwaanku, lebih tepatnya.
Kenapa harus aku? Ucapku lirih dalam hati.
Kenapa aku harus mengenal hal yangtak bisal kumiliki? Kenapa aku harus mempercayai perasaanku terhadap orang yang tidak benar-benar melihatku? Bahuku berguncang. Setelah dibuat kehilangan nafas, sekarang aku merasa lempeng bumi yang entah bagian mana sedang bergeser. Aku menyandarkan diriku pada tembok keramik.
Jadi ini rasanya hidup sebagai bayangan. Hanya dianggap sebagai punggung tangan. Yang selamanya tak akan bertepuk selaras dengan telapak tangan. Jadi ini rasanya, mengetahui hal yang tak dapat dimiliki, menjadi seseorang yang tak diingini. Meski berdiri lima jengkal jauhnya, tak pernah benar-benar mampu untuk menyatakan keberadaannya, membuatnya menolehkan kepala sejenak, untuk melihat siapa yang ada di belakangnya. Yang tak pernah lelah untuk berhenti mengaguminya, ikut menikmati bahagianya, meski hanya sebatas punggungnya.
-
Aku berjalan menghampiri kamu yang kini duduk di bangku sudut kiri kolam. Kuyakinkan diri bahwa sudah tak ada lagi air mata yang berkumpul di pelupuk.


“Sori lama, Yo” kataku singkat.
“Duduk sini,” Kamu menepuk bangku sebelahmu. “Tau nggak Na, aku menganggap diriku ini bintang, yang cuma bisa berlindung dibalik bulan saat langit lagi muram,”
Tidak bisa mengartikannya, aku bertanya dengan seluruh rasa ingin tahuku. “Loh, kenapa?”
“Entah kenapa, aku selalu berpikir, kalau aku tuh nggak akan pernah bersinar kalau nggak ada kamu yang jadi bulan. Kamu tuh selalu bisa baca perasaan aku, dan membangkitkan  semangat aku lagi. Bulan nggak pernah gagal membuat Bintang  percaya, kalau dimanapun bintang berorbit, selama ada bulan, bahkan gugusan galaksi, bukan hal yang mustahil buat ditaklukkan..”
Lagi, pipiku terasa basah. Otakku berhenti bepikir. Hingga aku merasa, aku terlalu naif. Dan sepertinya, perasaanku telah mendominasi jalan pikiranku.
Tidak selamanya memiliki itu suatu pencapaian gemilang saat kita menyimpan perasaan untuk seseorang. Karena ternyata, satu-satunya yang kekal hanyalah perasaan yang tulus. Meski hanya menjadi bagian dari punggung tangannya.
-
“Sebesar itu, arti aku buat kamu?”
Kamu menganggukan kepalamu dengan pasti.
Dan tidak ada yang lebih sempurna dari malam yang bermandikan sinar rembulan yang hangat.
Selama kamu bahagia.

No comments: