Hari ini
momen yang paling kami----siswa kelas dua belas------ tunggu. Malam bertabur
bahagia yang merupakan epilog dari perjalanan selama tiga tahun menuntut ilmu.
Senandung lagu dilantunkan oleh alunan syahdu piano di sudut ruangan. Setiap
kawan saling bercengkrama dalam busana terbaiknya.
Suasana
terasa sangat sibuk hingga akhirnya sudut mataku menangkap sosokmu. Berjalan
tegap dari pintu masuk. Mendadak pipiku terasa panas. Aku kesulitan bernafas.
Udara seperti lenyap tenggelam ditelan hidrosfer. Tuhan, kemana perginya
senyawa o dua?
-
Kamu tampak
gagah dalam balutan kemeja jingga dan celana kain yang jatuh lurus tepat di mata
kaki. Siraman sinar lampu temaram membuat mata cokelatmu menjadi satu-satunya
hal yang menarik malam ini. Seperti
mendapat telepati, kamu melambai dan menyunggingkan seulas senyum. Aku
terpaku sepersekian detik sampai akhirnya memekarkan bibirku sebagai
balasannya.
Kamu tak
pernah perlu bekerja keras untuk terlihat tampan. Setidaknya begitulah di
mataku. Perlahan kerongkonganku tercekat. Mulutku saling mengatup rapat. Sampai
akhirnya kamu berjarak lima jengkal dari diriku, aku benar-benar yakin bahwa
bumi ini benar-benar kehilangan oksigen.
“Hai, Na!”
Sapamu santai.
Sekeras
mungkin aku berusaha untuk bersikap biasa hingga akhirnya aku berhasil
mengeluarkan sepatah kata, “Hai,” Sadar kata tersebut terlalu singkat,
cepat-cepat kutambahkan, “....Yo,”
Kamu
memamerkan gigi rapi hasil dikawat selama empat tahun.
“Cantik deh
kamu, Na. Aku sampai ngira kamu kembarannya Emma Roberts, kalau aku nggak ingat
dia benar punya kembaran, hahahaha” Ucapmu diiringi tawa renyah.
“Kamu juga ganteng, Yo. Seperti
biasa.” Buru-buru
kugelengkan kepala, Aduh, mikir apa sih kamu Hana!
“Biasanya
juga ngeledekkin kamu, Yo. Pasti lagi seneng ya?”
Aku bisa
melihat jelas perubahan air mukamu. Kamu tersenyum; senyum yang baru. Sudah
satu persepuluh abad kumengenalmu, baru kali ini aku melihat senyum yang
benar-benar beda.
“Na, aku
saranin kamu buka tempat praktek meramal. Serius deh, tau dari mana coba aku
lagi seneng?”
Bodoh. Apa
orang yang sedang kegirangan selalu besikap bodoh? Jelas-jelas kamu tak
henti-hentinya tersenyum sedari tadi.
“Kebetulan
tadi malam aku habis semedi lagi Yo. Jadi kemampuanku untuk membaca perasaan
seseorang semakin expert.” Aku menghela nafas, “Jadi, mau cerita nggak nih?”
-
Aku dan Rio
pertama kali bersalaman sepuluh tahun yang lalu. Dia menjadi tetanggaku. Sejak
saat itu, kami seperti Patrick dan Spongebob, saling membutuhkan satu dan yang
lain. Kami bercerita segala hal; setidaknya begitulah menurutku. Aku selalu
merasa Rio adalah pasangan dari tulang rusukku yang diciptakan Tuhan. Meski aku
tak sempat mengatakannya, ralat, tak pernah cukup bernyali untuk
mengungkapkannya. Selama ini aku beranggapan, asalkan Rio masih mau terjaga
hingga pagi buta untuk sekedar mendengarku bercerita, atau meredakan
tangisanku, itu semua sudah cukup.
Sampai akhirnya aku mengenal sebuah perasaan asing.
Yang kata orang, dinamakan Cinta.
-
Kamu mengajakku ke tepi kolam. Ditemani dua cangkir punch. Seperti sedang menyusun rentetan
cerita, kamu menatap lekat-lekat rembulan yang hanya sepotong. Seberkas
cahayanya jatuh tepat di pelipismu. Di detik yang sama, otakku bekerja lalu
berkata, mungkin ini saatnya. Aku
masih memainkan gaun sutera merah jambu milikku hingga aku mendongak dan
mendapati kamu tersenyum lagi.
Butiran keringat mulai bertetesan menuruni dahiku. Apa
ini saat yang tepat?
Segera kufokuskan diriku tepat ketika kamu selesai menegak punch-mu. Seakan sudah menemukan dari dermaga
mana kamu harus berlayar, kamu menarik nafas dalam-dalam, dan mulai berkisah.
“Jadi gini, Na. Tau kan, sebulan yang lalu, aku sekeluarga
pulang ke tempat kelahiranku, di Padang?”
Aku menganggukan kepala, memutuskan untuk jadi pendengar
setia.
“Nah, setelah sekian lama, akhirnya aku bertemu Leena,
temanku sejak aku masih dalam kandungan!”
Perasaan tak enak mulai mengalir seiring siklus darahku.
“Terus, kita cerita-cerita dari A sampai Z atau bahkan lebih.
Sampai akhirnya dia ngasih aku lipatan kertas yang sudah kusut. Disini,
kemampuan meramal kamu beneran aku uji nih, Na! Coba tebak isinya apa?”
Aku menelan ludah, berusaha menghilangkan segala pikiran
negatif.
“Hmmm, janji konyol anak SD?”
“Magnifique! Daebak! Awesome! Kamu bisa naik level
sekarang! Hahaha, exactly, Na. Ternyata bukan aku aja yang masih beharap aku dan Hana bisa bertemu lagi dan
berjodoh. Dia juga gitu!”
Mendadak aku merasa adrenalinku meningkat. Antara tak mau
meresap tebakan jituku tentang apa yang akan tejadi selanjutnya, atau terus berusaha
berpikir positif. Aku mengalihkan pandanganku ke air kolam yang memantulkan
sinar bulan.
“jadi singkatnya, kami resmi pacaran!”
Senyum di wajahmu semakin merekah. Lututku terasa lemas.
Setiap guratan senyummu seakan menamparku dan membangunkan aku dari indahnya
mimpi. Rentetan kejadian manis berkelebat satu demi satu di otakku. Sampai
akhirnya nyawaku kembali berada di depanmu, dan mataku menangkap kamu yang
sibuk membuat gerakkan tangan berusaha mebuyarkan lamunanku.
“Na, Naaaa! Aku disini!”
“Aduh sori, tadi tiba-tiba kepikiran, Piko udah aku kasih
makan belum ya?” Jawabku ngawur. Aku berjanji, sepulang dari Prom Night ini aku
akan meminta Piko----Kucing Persiaku---- menjadi seorang kakek yang setia
menemani radio bututnya.
“Hah? Aku nggak nyangka, ternyata kamu sayang banget ya, sama
Piko. Terus aku gimana dong?”
Seolah tak puas mematahkan sayapku, kali ini kamu menggali
lubang untuk tempatku mendarat.
“Yeee kan udah ada Leena. Aku ke toilet bentar, ya.”
Buru-buru kubalikkan badanku.
Pipiku terasa basah.
-
Aku menatap lekat-lekat bayanganku di cermin. Berusaha
merapikan eyelinerku yang sekarang tampak menyeramkan. Sambil berusaha mengatur
nafasku, aku menata ulang pikiranku. Pikiran dan kondisi kejiwaanku, lebih
tepatnya.
Kenapa harus aku? Ucapku lirih dalam hati.
Kenapa aku harus
mengenal hal yangtak bisal kumiliki? Kenapa aku harus mempercayai perasaanku
terhadap orang yang tidak benar-benar melihatku? Bahuku berguncang. Setelah dibuat
kehilangan nafas, sekarang aku merasa lempeng bumi yang entah bagian mana
sedang bergeser. Aku menyandarkan diriku pada tembok keramik.
Jadi ini rasanya hidup sebagai bayangan. Hanya dianggap
sebagai punggung tangan. Yang selamanya tak akan bertepuk selaras dengan
telapak tangan. Jadi ini rasanya, mengetahui hal yang tak dapat dimiliki,
menjadi seseorang yang tak diingini. Meski berdiri lima jengkal jauhnya, tak pernah
benar-benar mampu untuk menyatakan keberadaannya, membuatnya menolehkan kepala
sejenak, untuk melihat siapa yang ada di belakangnya. Yang tak pernah lelah
untuk berhenti mengaguminya, ikut menikmati bahagianya, meski hanya sebatas
punggungnya.
-
Aku berjalan menghampiri kamu yang kini duduk di bangku sudut
kiri kolam. Kuyakinkan diri bahwa sudah tak ada lagi air mata yang berkumpul di
pelupuk.
“Sori lama, Yo” kataku singkat.
“Duduk sini,” Kamu menepuk bangku sebelahmu. “Tau nggak Na,
aku menganggap diriku ini bintang, yang cuma bisa berlindung dibalik bulan saat
langit lagi muram,”
Tidak bisa mengartikannya, aku bertanya dengan seluruh rasa
ingin tahuku. “Loh, kenapa?”
“Entah kenapa, aku selalu berpikir, kalau aku tuh nggak akan
pernah bersinar kalau nggak ada kamu yang jadi bulan. Kamu tuh selalu bisa baca
perasaan aku, dan membangkitkan semangat
aku lagi. Bulan nggak pernah gagal membuat Bintang percaya, kalau dimanapun bintang berorbit,
selama ada bulan, bahkan gugusan galaksi, bukan hal yang mustahil buat
ditaklukkan..”
Lagi, pipiku terasa basah. Otakku berhenti bepikir. Hingga
aku merasa, aku terlalu naif. Dan sepertinya, perasaanku telah mendominasi
jalan pikiranku.
Tidak selamanya memiliki itu suatu pencapaian gemilang saat
kita menyimpan perasaan untuk seseorang. Karena ternyata, satu-satunya yang
kekal hanyalah perasaan yang tulus. Meski hanya menjadi bagian dari punggung
tangannya.
-
“Sebesar itu, arti aku buat kamu?”
Kamu menganggukan kepalamu dengan pasti.
Dan tidak ada yang lebih sempurna dari malam yang bermandikan
sinar rembulan yang hangat.
Selama kamu bahagia.
No comments:
Post a Comment