Kelas sedang sangat sibuk. Lebih tepatnya, setiap orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku sendiri masih menggeluti deretan angka yang masih eror dan tidak seimbang juga. Berkali-kali aku menggigit pensil, menepuk-nepuk kepala, dan memelototi rentetan soal-soal yang seperti sedang berjingkrak-jingkrak meledekku karena sejak satu jam yang lalu, masih tak berhasil menyelesaikannya.
Aku melihat kanan dan kiriku. Semuanya tampak sibuk. Ada yang sibuk menekan-nekan tombol kalkulator, menyerut pensil 2Bnya, menghapus lalu menulis ulang, menggeleng-gelengkan kepalanya, dan bahkan saking frustasinya, ada yang lebih memilih tidur dengan ditutupi hoodie dan headphone tertancap lekat-lekat di kedua telinganya. Aku mengacak-ngacak rambutku sendiri dan memutuskan untuk keluar kelas mencari udara segar.
Pelajaran Matematika yang satu ini memang benar-benar menyebalkan. Soal-soal tersebut merupakan sejenis latihan soal yang diberikan Bu Tuti karena beliau sedang di luar kota. Kalau saja aku masih duduk di kelas dua SMA, aku tak akan repot-repot memelototi tugas tersebut selama satu jam. Mungkin aku akan diam di kantin bersama teman-teman dan mengabaikan tugas tersebut. Tapi ini beda kasus. Aku sudah kelas tiga. Dan UN akan datang dalam waktu enam bulan lagi. Begitupun SNMPTN. Ingin rasanya aku menyiksa diriku sendiri karena sudah melalaikan waktu.
Aku sedang berdiri saat Dio berjalan santai menuju pintu kelas.
"Kenapa diluar Na?" tanyanya sambil meminum sebotol soda segar.
"Mumet Yo" Jawabku sekenanya sambil melangkahkan kaki. "Ngapain juga Gue belajar Matematika kalo ujung-ujungnya gue bakal jadi penulis?" Kataku lebih kepada diri sendiri.
"Yeee penulis juga butuh dasar-dasar Matematika kali Na, mau lo dibodoin penerbitnya?"
"Gak lah.." Aku menarik nafas, berniat untuk segera mengakhiri percakapan dengan Dio, si master Matematika saat dia berbiacra lagi.
"Gue juga ga ada niatan jadi Ilmuwan, atau Dosen. Gue pengen jadi Duta Besar. Nyambung gak sih sama Matematika? Nggak, kan. Tapi however, mau gak mau gue ga bakal lulus selama gue gak belajar Matematika." Ucapnya sambil menegak habis soda di tangannya. "That's life. Mau atau nggak, kadang lo harus jadi orang lain dulu, mengikuti aturan hidup ini, sebelum lo jadi diri sendiri" Dio mengakhiri kata-katanya dengan melempar botol Soda tepat ke tempat sampah dan berjalan masuk ke dalam kelas.
Aku duduk di bangku taman. Sudah tiga tahun, aku belajar di sekolah ini. Ralat, nyaris tiga tahun. Semuanya campur aduk, sedih, senang, jenuh, dan lainnya. Tapi aku rasa tiga tahun sudah lebih dari cukup untuk mengumpulkan memori indah selama masa sekolah. No need one more year.
Aku berjalan menuju kelas. Sesampainya di sana, aku langsung duduk dan kembali menatap rentetan angka dan rumus-rumus tersebut. Tian yang tadi sibuk tidur kini sudah bangun dan mulai mengerjakan tugas. Aku dapat melihat Dio yang dikerubungi oleh teman-teman yang lain.
Tiba-tiba saja aku merasakan sebuah tamparan. Aku teringat Mama dan Papa, selama ini aku hanya bisa menyusahkan mereka.
Kenapa harus menyerah, kalau belum mencoba?
Kenapa takut gagal, kalau gagal adalah batu loncatan untuk sukses yang lebih gemilang?
Kenapa masih mempertahankan hidup, kalau takut bermimpi?
Aku tertegun. Semua orang punya kemampuan, yang membedakan adalah usaha mereka untuk memaksimalkannya. Hidup itu pilihan. Dan ketika aku menentukan pilihan, aku harus menjalani semua hal yang berhubungan dengan pilihan itu.
Aku menegakkan kepalaku. Mataku bertatapan dengan mata Dio sepersekian detik. Hingga entah bagaimana, aku merasa mendengar apa yang ada di pikirannya.
"Kalo lo takut jatuh, selama masih dikasih nyawa, berdiri dan berlari ngejar yang lain tuh bukan hal yang gak mungkin. Dunia itu kecil, asal lo tau gimana cara naklukinnya. Hidup itu simple, asalkan lo bisa terus ber-positive thinking. lo bisa, lo pasti bisa."
---
Untuk yang menulis cerpen super gak nyambung dan tak beralur ini, yang sedang berusaha menaklukan semua pelajaran di kelas sosialnya.
Kamu, pasti bisa.
No comments:
Post a Comment