December 04, 2010

    Miko sedari tadi hanya memandangi minumannya. Mengaduk-aduk dengan sedotan, dan sesekali menyeruputnya. Ia merasa dirinya asing. Asing karena ia tak tahu harus masuk dari pintu yang mana untuk bisa bergabung dengan Ami dan Ardy. Tiba-tiba saja Ia teringat rencananya yang ia buat. Ah tapi apakah semua itu masih akan mungkin jika posisinya sudah seperti ini sekarang? Ia baru sadar, Ami yang selama ini dikenalnya ternyata mempunyai sisi lain yang tak pernah ditunjukkannya saat Ami bersamanya.

"Miko! Ngomong dong!" Ami menggertak sambil mencubit lengan Miko
Dengan reaksi yang telat, Miko berkata "Ah sakit tau" Ia mengusap-usap lengannya
Ardy angkat bicara,
"Oiya, aku belum tau Miko kuliah jurusan apa?"
"Bussiness Management, kamu?"
"Oh aku baru lulus dari ABRI, mau ngikutin jejak Ayah aja kayanya hahaha"
"Ayahmu,.." Miko menelan ludah dan melanjutkan perkataannya "Tentara?"
"Ya,.." Ardy hendak melanjutkan kata-katanya ketika perkataannya dipotong Ami
"Yah kok kamu lemot banget sih ko, dia kan baru pulang dari Kongo, jadi otomatis Ayahnya tentara lah"
Tanpa memperdulikan Ami, Miko melanjutkan percakapannya dengan Ardy
"Ayahku juga tentara. Beliau seorang Komandan, dan pergi ke Kongo juga. Tapi bedanya, Beliau telah wafat"
"Ah.. Maaf.. sepertinya aku mengenal Alm. Ayahmu, apakah namanya Komandan Surya Ashikaga?"
"Ya." Tiba-tiba Miko teringat perkataan Alm. Ayahnya, ia pernah ingin mengenalkan anak dari rekan kerjanya yang sebaya dengan Miko. "Dulu Ayahnku pernah ingin mengenalkan anak rekannya, Kalau tidak salah, namanya dari Ar.. sepetinya Ardy, ya, jangan-jangan kau lah orangnya"
"Haha aku memang sering berkunjung ke tempat Ayahmu bersama Ayahku, dan Ayahmu sering menceritakanmu. Andai saja Beliau masih ada ya. Apa karena kecelakaan pesawat?"
"Mmm" Miko hanya mengangguk.

Setelah percakapan itu, suasana menjadi hening. Betapa sempitnya Bumi ini, pikir Miko. Ami yang sedari tadi kesal karena dipotong oleh Miko hanya membolak-balik daftar menu makanan. Ardy memutuskan untuk melemparkan pandangannya keluar jendela. Karena tak tahan dengan kesunyian yang ada, setelah meneguk secangkir Lattenya, Ami langsung membuka pembicaraan.

"Aku tak suka Jakarta. Lebih baik kita kembali ke Bandung sekarang."
Miko dan Ardy saling bertatapan lalu melemparkan tatapannya pada Ami
"Kenapa? Tidak setuju?"
"Mmm sebenarnya aku masih ada yang harus diselesaikan disini, tapi, biar Kakakku saja yang menyelesaikannya. Ayo kita pulang! Oiya Ardy tinggal dimana nanti?" Miko berceloteh panjang lebar.
"Ami sudah mencarikan Apartement untukku, haha"
"Baiklah tunggu apalagi? Ayo kita pergi!"

***

Bandung, 10 Juli 16.48

 Ami menatap dua pria di hadapannya dengan tatapan asing dan sinis. Mereka tampak tak memiliki gairah hidup. Padahal baru saja beberapa menit yang lalu tiba di Bandung. Dan sekarang mereka sedang duduk di tengah Apartement milik Ardy. Ruangan yang kosong.  Hanya cat berwarna broken white, tempat tidur super besar dan sepertinya sangat cocok untuk bermalas-malasan. Angle disini sangat bagus, pikir Ami. Jendela besar yang menghadap ke arah barat sehingga sangat mudah untuk menikmati sunset. Cahaya matahari disini sangat menenangkan. Ami melemparkan pandangannya ke arah jendela. Rambutnya terkena sinar matahari sehingga terlihat kecoklat-coklatan. Matanya menyipit. Ia tersenyum. Situasi sangat awkward yang dia dapatkan di Bandara tadi seakan tak ingin menghilang dari pikirannya. Ardy dan Miko ternyata saling mengenal, meski tak pernah bertemu sebelumnya.

 Sepertinya Miko sudah mulai jenuh beradadalam kesunyian. Ami terlalu asik dengan lamunannya sambil menatap jendela besar itu. Ardy sibuk dengan ponselnya sedari tadi.  Tiba-tiba ia teringat ulang tahun Ami yang tinggal menghitung hari. Ah ia belum menyusun rencananya dengan maksimal. Sepertinya ia harus pamit pulang sekarang. Besok harus sudah mulai kuliah. Sepertinya Ia akan mampir ke toko  buku dulu sebentar lalu membeli beberapa cemilan dan pulang ke rumah. Oiya marmutnya kan sudah tak makan berminggu-minggu. Sial. Kalau mati Ami pasti ngamuk. Miko mengambil jaket kulitnya, mengenakkannya dan mulai berbicara ketika Ami dan Ardy bangkit dari kesibukan mereka dan tersadar bahwa Miko menunjukkan tanda-tanda akan pergi.

"Aku pulang dulu ya, harus mempersiapkan buku-buku untuk besok"
Ami membuka mulutnya "Aku ikut ya ko. Antar sampai depan rumah ya?"
"Baiklah, lalu Ardy?"
"Tidak apa-apa, aku bisa meminta bantuan pelayan jika ada yang harus diurus, pergilah"
"Baik, tolong hubungi jika kau membutuhkan kami, ya!" Miko meyakinkan Ardy.
"Mmm,"

  Beberapa detik kemudian sosok Miko dan Ami sudah menghilang dibalik pintu. Ardy kembali menyibukkan dirinya, kali ini dengan laptop yang sedang ia charge. Ah sepertinya ada yang ia lupakan, apa ya? Ah pasti tak penting.

***
  Mobil Miko berhenti tepat di depan rumah Ami. Ada keasingan disini. Hal yang tak pernah ia dapati selama bertahun-tahun menjadi sahabtanya. Ami seperti.. kehilangan jati dirinya. Entahlah mungkin dia sedang ada masalah. Nanti juga kalau ada saatnya dia pasti cerita. Ya. Yang harus dilakukannya sekarang hanya mempersipkan Ulang Tahun Ami dan.... menyatakan cintanya? Ah tidak. Tidak secepat ini.

  Ami menatap buku-buku tangannya lekat lekat. Kenapa? Ada apa dengannya? Sepertinya ia benar-benar harus memilih. Tapi, ah sudalah belum tentu juga orang yang diharapkan merasakan persaan yang sama. Ya belum tentu juga. Ah ia harus segera menggerakan badannya dari kursi mobil Miko dan mausk ke kamar. Ya.

"Mi, kamu kenapa?" Suara Miko memecahkan lamunan Ami.
"Ngga, haha"
Henig kembali.
Ami berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk mengatakan hal yang sedari kemarin, sebelum ia bertemu Miko, terus berkecamuk alam pikirannya. Ia menarik napas dalam-dalam.

"Jangan ngilang lagi ya mut, aku takut" Ami kembali menarik nafas untuk melanjutkan perkataannya
"Rasanya hampa, haha" Ami tertawa hambar, dan sadar bahwa ia harus segera keluar dari mobil Miko. Ia membuka pintu mobil.
"Ada syaratnya" Perkataan Miko yang satu ini mebuat Ami berhenti sejenak untuk melangkahkan kakinya keluar mobi
"Kamu harus janji, kalo kamu butuh aku, kamu harus hubungin aku. Oke?"
"Mmm. Makasih ya!" Ami menutup pintu mobil.

  Miko memperhatikan siluet tubuh AMi hingga ia menghilang dibalik pintu rumahnya. Ah, jujur saja perkataannya tadi sangat bukan dirinya. Selain karena sepertinya perkataan itu tak berarti apa-apa, ia berasa sangat bodoh dalam menyusun kata. Ah sudalah, sekarang ia harus ke Toko Buku dan Supermarket.

***

to be continued.

No comments: